Dua tahun lalu saya bertemu dengannya. Lelaki setengah baya yang oleh keluarganya dianggap malaikat. Betapa tidak, pekerjaannya hanya tukang sapu daerah Hay Sabi’, sudah 24 tahun menurut pengakuannya ia menjalani profesinya itu. Dan hanya 200 Pounds ia mendapat upah dari kerja kerasnya. Memang tak seberapa berarti uang itu jika diukur untuk kebutuhan empat orang anak-anaknya di Thanta. Tetapi saya tidak menemukan guratan beban hidup di wajahnya. Justru sinar wajah yang menyejukkan orang yang menatapnya. Hati saya pun tak kuasa berdusta, engkau memang lelaki surga. Mungkin lelaki ini seperti gambaran Miranda Risang Ayu, "tarikan nafasnya bismillah, dan gerak tangannya adalah tasbih."
Saya pernah curiga ketika bertamu ke daerah selatan Kairo, ke rumah keluarga Tenaga Kerja Ahli yang sangat mapan. Saya merasa janggal ketika sang suami hanya memanggil si istri dengan nama aslinya, tanpa ‘gelar kehormatan’ seperti Ummi, Bunda atau Mama. Bukankah itu lebih baik, apalagi di depan anak-anak?
Pertanyaan itu saya simpan saja dalam hati, berusaha mengerti, itu mungin sudah menjadi kebiasaan bertahun-tahun, dan bukan berarti tidak ada cinta. Beberapa waktu kemudian saya menemukan jawabannya, sang suami tenyata bukanlah orang yang kaku. Sederhana saja, ditengah kelelahan sepulang kerja, ia lekas berganti baju dan membantu istrinya di dapur yang sedang memasak. Dan yang menjadi catatan bagi saya, sikap sabar kepada anak-anaknya begitu besar. Ah, haruskah engkau juga kusebut lelaki surga.
Kedua kisah tadi telah memberi saya makna yang dalam. Bahwa mencintai tidak harus selalu dengan kata-kata romantis, meski itu diperlukan. Cinta itu aplikatif, ada dalam kerja-kerja nyata dan realitis. Bukan hanya dalam tata bahasa yang mempesona diantara sepasang manusia. Bekerja mencari nafkah untuk keluarga adalah cinta, meringankan pekerjaan istri―juga―berarti cinta. Dan segala pekerjaan yang melahirkan rasa senang orang lain kepada kita itu merupakan benih-benih cinta. Dakwah para Nabi kepada umat manusia merupakan aplikasi dari cinta. Terciptanya alam ini, kata Ibnu Qayyim, karena kehendak dan cinta.
Cinta tidak terbatas ruang dan waktu, menjelma dalam kondisi apa saja. Tidak juga berbentuk benda, tetapi sebuah rasa. Karena itulah walau pun kepayahan, seorang ibu tetap mau menyusui bayinya. Seorang ayah rela menahan rasa haus dan lapar saat mencari nafkah. Dua orang yang berteman mau berkorban apa saja kepada sahabatnya. Tetapi Islam buru-buru memberi peringatan, bahwa saling menyintai ada aturannya, “teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa.” (Q.S. 43: 67) Ya, apa dan siapa pun yang kita cintai harus berada dalam koridor takwa.
Cinta sederhana, berasal dari lelaki surga. Lelaki yang selalu setia menjadi pendengar keluh-kesah keluarganya; lelaki yang suka meringankan pekerjaan istri-istrinya; lelaki agung seperti Rasulullah SAW yang menjahit sandalnya sendiri. Dimana sekarang lelaki-lelaki itu? Engkau, Anda, ataukah kita semua para lelaki. Saya tidak tahu! Tapi yakinlah, seluruh perempuan merindukan lelaki seperti itu.
source:abunahidh.multiply.com